Dulu waktu sekolah, saya malas sekali ikut pelajaran olahraga, apalagi bercita-cita jadi atlet. Bayangkan saja, badan saya yang kecil ini berderu bersama teman-temanku di lapangan basket, lapangan volly, tiang lompat tinggi, ataupun lompat jauh. Mereka yang kakinya lebih panjang dari saya, yang lebih tinggi dari saya pastinya lebih menang. Tapi kalau berenang saya masih suka, tinggi badan seseorang rasanya tidak berpengaruh pada kecepatan dia berenang karena semua bagian tubuh ikut mendayung.
Hingga saya dewasa, tidak ada olah raga tertentu yang saya jalani. Namun saya tahu kalau kaki saya kuat dan bisa jalan jauh. Kata papa, kalau pengen keluar negeri, mesti latihan jalan jauh dan cepat. Akhirnya saya latihan berjalan lagi. Jalan jauh, soalnya di luar negeri taxi mahal, kemana-mana jalan. Dan ternyata saat saya kuliah di Belanda, saya baru merasakan pentingnya terbiasa jalan cepat, terutama saat musim dingin. Kalau jalannya lambat, hawa dingin makin menyerang. Tapi tetap saja saya tidak punya hobi olah raga. Saya jalan hanya karena saya ingin jalan-jalan keluar negeri lebih banyak.
Sampai suatu waktu, saat saya duduk bersama partner saya, Marcelina R Suganda. Kami membuat target pencapaian kerja kami di Sinergia Consultant – Marcel menuliskan bahwa ia mau lebih sehat. Saya pikir itu adalah hal yang baik. Akhirnya saya tuliskan kesehatan ini dalam target pribadi juga. Singkat kisah, saya jadi rutin ber-pilates dan kadang-kadang (jarang banget aslinya :)) berlari. Awalnya, tidak mudah untuk membangun kebiasaan, bukan? Dari kebiasaan ini, saya mengamati pelatih pilates saya dan muncul pertanyaan, “Apa yang bisa membuat mereka ini begitu konsisten berlatih?”
Pengalaman lain lagi saat saya ketemu dengan klien saya, Ong Robby Raharja dari Topsell Group. Beliau ini jadi klien tapi juga jadi mentor saya. Bayangin saja, sebagai direktur di perusahaannya, ia menggembleng timnya untuk lari 30-40 km yang harus diselesaikan dalam waktu 1 bulan pertama di masa kerjanya. Hal ini makin meneguhkan saya bahwa banyak karakter atlet yang bisa diaplikasikan saat kita mengembangkan kompetensi kepemimpinan kita.
Coba saja simak video singkat ini untuk berkenalan dengannya: dari Topsell Group. Beliau ini jadi klien tapi juga jadi mentor saya. Bayangin saja, sebagai direktur di perusahaannya, ia menggembleng timnya untuk lari 30-40 km yang harus diselesaikan dalam waktu 1 bulan pertama di masa kerjanya. Hal ini makin meneguhkan saya bahwa banyak karakter atlet yang bisa diaplikasikan saat kita mengembangkan kompetensi kepemimpinan kita. Coba saja simak video singkat ini untuk berkenalan dengannya:
Beberapa bulan belakangan ini, saya dan tim Sinergia Consultant merancang materi kepemimpinan. Teori apalagi yang harus saya pakai?
ATLET!!!
Apa yang terjadi ya, jika setiap pemimpin menempa dirinya seperti para atlet ini?
1) Natural Goal Setter
Mengapa tidak banyak orang bisa menyelesaikan lari maraton 42 km? Para pelari tidak pernah melihat garis finish di hadapannya sejak pertama kali mereka lari dari garis start. Mereka hanya melihat lintasan dari kilometer ke kilometer berikutnya. Mereka mampu untuk selalu memvisualisasikan garis finish ini. Sebelum pertandingan bahkan, atlet-atlet ini sungguh percaya bahwa kerja keras mereka saat latihan pasti membuahkan hasil. Padahal dalam waktu pendek, atlet ini hanya melihat tantangan-tantangan, kelelahan dalam latihan, diet yang konsisten, juga tubuh yang sakit karena terus ditempa. Kemampuan mereka membangun GOAL yang kuat secara terus-menerus inilah kunci awalnya.
“Kemampuan untuk melihat sesuatu yang belum nampak”
2) Competitive Instinct & Winning Competition
Kompetitor terbesar para atlet ini adalah dirinya sendiri!! Dalam arena pertandingan, tentunya mereka akan berkompetisi dengan atlet lain. Namun proses sebelumnya dalam latihan, ia terus bertanding dengan rasa malas, rasa lelah, keputusasaan, juga kesombongan diri sendiri. Dre, tokoh utama dalam film Karate Kids ditanya oleh gurunya, “Mengapa kamu ingin kembali bertanding dengan kakimu yang sudah patah? Apa yang ingin kamu buktikan? Apakah kamu ingin mengalahkan lawanmu?”
Ia menjawab, “Aku masih punya rasa takut dalam diriku, aku ingin menyelesaikannya.” Nampaknya seorang atlet itu selalu punya pertanyaan pamungkas: “What’s holding me back?” Dan menjadikannya sebagai pijakan untuk terus melaju.
Kisah Ariana luthermanini barangkali juga bisa memberikan sudut pandang berbeda bagi Anda mengenai konsep kompetisi ini:
3) Ability to Manage Stress & Energy
Stres bukan lagi hal baru buat kita semua. Pemimpin juga tidak ada yang tidak mengalami stress lo ya. Yang membedakan seorang pemimpin itu berhasil atau tidak, adalah caranya mengelola stress dan membawa kembali “high performance state”nya. Atlet, mengalaminya tidak hanya saat pertandingan – mereka bisa cedera dan kalah. Namun dalam proses latihan, ia juga stress menghadapi dirinya sendiri, coach/ pelatihnya. juga keluarganya. Bayangin aja saat lari di lintasan, atau saat lawan main dapat skor lebih tinggi – stressnya sangat nyata! Atlet hanya punya hitungan menit atau bahkan detik untuk mengatasi tekanan ini dan kembali fokus untuk membangun energinya. Nah kita ini bilangnya… butuh istirahat lebih lama, pikiran lagi ruwet, kurang istirahat, dsb, dsb, dsb. Hmmmmm “Apa lagi alasan yang kita punya untuk tidak membangkitkan energi sebagai pemimpin?”
“They go with the flow.” Mereka sangat adaptif untuk merubah atau memiliki strategi baru tanpa galau. Jika belum berhasil, mereka akan kembali pada prosesnya. Para atlet ini bahan benar bahwa tidak ada jalan pintas untuk sebuah keberhasilan.
4) Sense of Belonging
Untuk cabang olahraga dalam kelompok – apakah Anda pernah lihat betapa mereka menyatu satu dengan lainnya? Bahkan di arena pun mereka tidak sempat berdiskusi, bukan? Seolah-olah insting mereka menyatu, mereka bisa menerawang arah bola yang dilempar oleh teman satu regunya. Hal yang menarik juga, sense of belonging ini tidak hanya dari sisi kesatuan mereka sebagai kelompok, namun dalam regu olahraga seperti ini tidak jarang juga saya dengar mereka dapat dengan tegas mengeluarkan salah satu anggota regu seandainya ada pelanggaran yang sifatnya prinsip banget. Misalnya mabuk, pakai obat-obatan terlarang, atau tidak disiplin mengikuti jadwal latihan. Artinya, sense of belonging ini tidak hanya asal guyub saja, namun juga tetap membawa visi, misi dan nilai-nilai regu mereka. Mereka memainkan “valuable role” masing-masing.
So, do you belong to the group and does the group belong to you?
5) Strong Sense of Focus & Consistency
Beberapa waktu yang lalu saya mau membuat janji dengan salah satu tim Leader saya di Points of You. Namanya Pak Bambang Styawan. Ia keberatan jika kami meeting di malam hari karena bisa mengganggu pola tidurya. Sebenarnya bukannya ia menolak saya, namun ia tahu bahwa ia perlu konsisten dan sangat disiplin pada dirinya. Ia sedang mempersiapkan diri untuk mengikuti Triathlon. Selama 1 tahun ia berlatih setiap pagi, menggembleng otot-otot tubuh, menjaga pola makan dan pola tidurnya. Saya sampai bertanya-tanya, “Di area mana hidup saya yang konsisten?” Tidak ada kisah atlet yang berhasil dalam pertandingan tanpa latihan yang konsisten.
“To become an overnight success, it takes 10 years of hard work.”
6) Coachable
Atlet mana yang berhasil mencapai puncak hanya dengan mengandalkan kekuatannya sendiri? Mereka paham untuk mereka berhasil, mereka perlu orang lain. Bahkan berbagai masukan, kritik, gemblengan, bahkan suka tidak suka, ia perlu mengikuti arahan Coach-nya. Mereka bisa komplain atas kerasnya jam latihan namun mereka tahu bahwa mereka tidak akan menyerah. Selain itu mereka juga melakukan latihan yang sama berulang -ulang. Kira-kira, seberapa saya sanggup mengatakan “Baik, saya coba” daripada “Ah ini sulit, saya sudah tidak sanggup lagi.” ??
7) Humility
Ini pelajaran kesederhanaan. Banyak kisah atlet yang akhirnya gagal karena mereka terlalu percaya diri pada kemampuannya dan kadang juga menyepelekan lawan tandingnya. Memiliki pola pikir bahwa selalu ada ruang perbaikan – dengan lebih baik dan lebih banyak berlatih, berkeringat, coaching, dan juga membawa hati yang lebih terbuka dalam prosesnya. Bahkan, menyadari kerentanan juga menjadi hal yang sangat penting. Mereka yang menyadari bahwa kegagalan tidak dapat dihindari, dapat belajar lebih banyak dari kegagalan tersebut daripada meraih kesuksesan. Setiap kali seorang atlet yang rentan jatuh, atau kalah, atau membuat kesalahan akhir pertandingan, tekad mereka untuk menjadi lebih kuat dan lebih baik tumbuh.
Akhirnya, atlet yang berprestasi menunjukkan apresiasi. Melalui penumpahan darah, keringat, dan air mata, mereka menghargai pagi-pagi sekali, perjalanan tanpa henti, teman dan rekan satu tim yang setia, dan setiap tantangan lainnya. Mereka menghargai pengalaman karena mereka bisa terus mengejar tujuan dan impian. Atlet yang berprestasi cenderung menjadi pemimpin alami baik di dalam maupun di luar lapangan. Pemimpin dikenal karena fokus, rasa motivasi, dan kemampuan bawaan untuk mengeluarkan yang terbaik dari diri mereka sendiri dan orang di sekitar mereka – sifat yang dimiliki oleh atlet papan atas. Jadi apakah Anda setuju dengan pemikiran saya, bahwa untuk menjadi pemimpin, kita bisa belajar dari para atlet? Boleh komen yaaaaa….
Oh ya, satu lagi. Saya mau ngajak Anda yang pengen membangun lagi energi leadership dalam Leader’s Energy Camp. Yang penasaran ini mau ngapain aja, boleh klik link ini ya: https://www.sinergiaconsultant.com/leaderscamp ketemu disana yaaa 🙂