Seperti biasanya, setiap hari jumat minggu pertama atau kedua (kalau ada libur panjang di awal bulan), Tim Leader Sinergia punya agenda monthly meeting untuk saling reporting dan evaluasi pencapaian bulan sebelumnya, termasuk Update KPI.
(hayooo, Gimana dengan agenda meeting Anda, sudah diagendakan secara teratur belum? kalau belum segera agendakan ya!)
Proses meeting awalnya berjalan baik-baik saja, hingga sampailah pada presentasi progres KPI dari salah satu Department Leader:
Leader: ”ini untuk mereka2 yang tidak aktif update, rencananya mau saya ‘hilangkan’ dari KPI supaya nggak ganggu resultnya. Saya setting indikator ini buat kepentingan bersama, untuk bantu mereka jadi pribadi yang sehat. Walaupun memang, indikator ini tidak secara langsung berdampak terhadap goals besar. Tapi kalau ga ada awareness untuk saling support, ya better saya hilangkan sekalian”
Owner: “GA BISA GITU! aku tahu, kamu ini achiever banget. tapi aku nggak setuju kalau kamu mau ‘menghilangkan’ nama tersebut dari indikator, wong itu sudah ditentukan dan disepakati sejak awal. Itu sama saja kamu nge – ‘PHK’ orang.
Aku nggak pernah meragukan soal personal achievementmu. dan menurutku KPI mu (as a leader) sebenarnya bukan seberapa jauh kilometer yang sudah kamu lakukan, tapi bagaimana membuat tim ini ikut bergerak bersamamu. coba ya, lihat lagi. Ini kan dia (RF) bukannya nggak mau jalan. hanya dia gak submit / input datanya. Bener ga?
So think about it. Kamu boleh ‘PHK’ orang ini kalau kamu sudah mengusahakan 1001 cara untuk membuat tim ini bergerak. Tapi kalau hanya 1 indikator ga jalan dan kita ga ngelakuin apa-apa, maka sebenernya salahnya ada dimana?”
….
Kemudian, ruang meeting mendadak hening. Beberapa saling lihat satu sama lain, sebagian lain menghela nafas panjang. Namun, dari percakapan ini kami jadi diingatkan kembali mengenai 1 hal penting terkait KPI, yaitu KPI tidak hanya berfungsi sebagai alat ukur kinerja saja. Namun juga dapat dimanfaatkan sebagai instrumen strategis yang dapat membentuk perilaku individu dan kolektif dalam organisasi.
Maksudnya Perilaku yang Bagaimana?
Untuk membantu Anda mencerna case di atas, saya akan ceritakan case lain.
Belum lama ini, Saya bersama coach Amel berkesempatan untuk memfasilitasi agenda sosialisasi KPI (salah satu klien yang kami dampingi), kepada seluruh jajaran leader baik yang ada di head Office maupun cabang (para kepala cabang). ini adalah pertemuan yang telah dinanti setelah proses diskusi yang intens dan crosscheck sumber data hingga akhirnya menjadi 1 Format KPI yang disetujui oleh Owner / Jajaran direksi.
Meskipun begitu, bukan jaminan KPI yang sudah mendapat approval dari pimpinan dapat disampaikan dengan cara yang mulus layaknya jalan tol. Kapan lagi Anda melihat seorang manager yang sedang melakukan sosialisasi dalam forum mendapatkan feedback dan pertanyaan yang cenderung ‘menyerang’ dari anggota tim (dalam hal ini adalah para kepala cabang).
Dari sisi facilitator, kami punya ‘ruang’ lebih untuk mengobservasi dinamika yang sedang terjadi. “Oohhh, there is something missing between them”. Ada hal yang nampaknya tidak tersampaikan dengan baik antara kedua belah pihak sehingga mereka seakan punya persepsi dan cara memperlakukan KPI secara berbeda, padahal goalsnya sama.
Maka dengan mengacu pada case 1 dan 2 di atas, bagaimana perilaku ini bisa terjadi?
Secara garis besar ada 3 faktor teknis yang menyebabkan KPI sulit diterapkan / sulit tercapai, sebagaimana juga yang disampaikan dalam sesi Simple KPI :
- Indikator yang tidak tepat
Ketidaktepatan dalam menentukan indikator tentu tidak hanya menghambat keberhasilan pencapaian KPI, namun juga akan menimbulkan kebingungan dari para pelaksananya. Maka coba amati lagi indikator Anda, apakah formatnya sudah cukup jelas?
- Sebenarnya APA sih yang mau kita ukur / capai?
- MENGAPA indikator ini penting
- BAGAIMANA cara mengukurnya / sebaiknya, alat ukur apa yang dapat digunakan?
- Apa yang terjadi, JIKA indikator ini tercapai / tidak tercapai?
Bagi Anda yang juga masih bingung atau punya masalah serupa, bisa jadi indikator Anda belum tepat. Selebihnya, Anda bisa manfaatkan ruang Free Consultation untuk dapatkan solusi dari para Coach kami
- Tidak disiplin Administrasi & monitoring.
Proses pencatatan / input data yang tidak rapi dan konsisten dapat berdampak terhadap pencapaian KPI, apalagi ditambah dengan proses monitoring yang tidak optimal. Anda bisa lihat kembali case 1 di atas. Akibat perilaku 1 orang (RF) tidak input data, bisa berdampak pada orang-orang di sekitarnya. Misalnya pak WA, yang akhirnya harus berjuang keras untuk menjaga performa KPI Tim dengan mencatatkan jumlah km yang lebih jauh dari orang lain.Kira-kira menurut Anda, bentuk treatmen seperti apa yang tepat diberikan untuk merubah perilaku tim dari pak WA ini?
- Lack of Competency.
Suka tidak suka, mau tidak mau, kompetensi Anda juga akan ‘dipertaruhkan’. Pernah dengar quote populer Uncle Ben, pamannya Peter Parker a.k.a Spiderman?
Bisa Anda bayangkan kalau seorang Spider – Man, melawan musuhnya dengan sikap / perilaku yang santai? datang terlambat di lokasi kejadian, apalagi dengan sembrono menembakkan jaring untuk hal-hal yang tidak jelas? KPI dirancang untuk mendukung Anda mengukur performa bisnis. Sehingga Anda bersama para stake holders di perusahaan punya pemahaman dan acuan yang jelas dalam menentukan berbagai keputusan strategis untuk mencapai goals perusahaan. Namun, saya yakin prosesnya akan sangat berat jika tidak dimbangi dengan kesiapan dan kompetensi tim yang mumpuni. Oleh karena itu, yuk luangkan waktu untuk mapping. Kira-kira, berapa % SDM yang kompetensinya sudah sesuai standar?
Sekarang, balik sedikit ke pertanyaan sebelumnya mengenai :
Bagaimana KPI sebagai sarana Pembentuk Perilaku Organisasi?
Jujur saja, ini adalah sebuah insight yang saya dapat saat melakukan pendampingan / coaching klien bersama Coach Amel di 1-2 bulan terakhir. Dan saya coba mengkoneksikan dengan framework yang kami miliki dalam mengelola sistem SDM di perusahaan.
1. Sebuah perilaku munculnya berawal dari pikiran / Mindset.
Dalam konteks bisnis, KPI is KPI. semuanya adalah angka, kuantitatif dan pastinya rigid. Bentuk perilaku didorong oleh Reward vs Punishment. Apabila tidak benar-benar dicermati, tidak jarang menjadikan bersikap kaku layaknya mesin.
“KPI-ku = KPI-ku”
“KPI-mu = KPI-mu”
“bodo amat sama orang lain, yang penting KPI-ku tercapai”
Adakah diantara Anda yang sedang / pernah mengalami kondisi demikian?
Sadar atau tidak, saya yakin kita sama-sama sepakat bahwa realita di lapangan tidak serigid formula yang telah kita susun. banyak faktor yang membuat perjalanan mengawal KPI menjadi lebih dinamis.
Oleh karena itu, dengan memahami seperti apa sih ekspektasi yang diharapkan dari pimpinan sebenarnya akan memberikan sedikit ruang gerak untuk Anda dapat menentukan perilaku yang tepat.
2. Membangun Sistem dan kebiasaan (habit) kerja
… Dengan kita launching KPI hari ini, yang saya bayangkan tugas Anda akan menjadi lebih besar. itu adalah challengenya. Mungkin kita akan perlu review kembali struktur Organisasi kita, SOP dan aturan-aturan lainnya sehingga kita saling connect dan terintegrasi satu sama lain
Ini adalah salah satu statement favorit saya dari Coach Amel saat closing sesi Sosialisasi KPI (case 2). Mau tidak mau, KPI menuntut kita untuk bergerak dan menggerakkan pihak-pihak yang terlibat.
Dalam konteks perilaku, sangat penting memahami bahwa manusia bertindak berdasarkan insentif simbolik dan konteks sosial. KPI adalah sinyal: ia memberi tahu seseorang, “Beginilah kamu akan dinilai.”
Penelitian dari Harvard Business Review menekankan bahwa ketika metrik menjadi terlalu sempit, ia dapat menyebabkan gaming the system—di mana karyawan lebih fokus pada pencapaian angka daripada nilai nyata (HBR, 2019).
Kuncinya adalah membuat KPI yang menghargai proses, bukan hanya hasil. Ini tidak berarti membuang metrik keras, tapi melengkapinya dengan dimensi perilaku yang ingin dibentuk.
3. Leader(ship) as Support System
Siapapun Anda, meski bukan di level leader sekalipun pasti akan punya andil dan peran dalam ketercapaian KPI yang sudah Anda susun. Fokusnya adalah membangun budaya berkolaborasi dan saling mendukung satu sama lain. Layaknya tim sepak bola. Kemungkinan menang akan lebih tinggi jika semua pemain komitmen untuk berlari bersama, passing, shooting & balik bertahan saat musuh menyerang.
Tapi, jangan dianggap bahwa bentuk perilaku suportif adalah Anda meng-Iya-kan segala permintaan rekan kerja. Salah besar. Namun, bisa jadi teguran, sikap tegas dan bahkan challenge yang Anda berikan dapat menjadi Support yang paling berharga untuk tim dan rekan kerja Anda.
Terakhir, ada wisdom yang ingin saya berikan. Yaitu, terkadang tidak perlu merasa iri dan berkecil hati kalau ‘bola’nya tidak datang kepada Anda. Akan selalu ada momentum untuk Anda sekalipun Anda tidak sedang bawa bola.
oohhmmm… *lanjut meditasi
Semoga tulisan ini membawakan satu perspektif KPI yang lebih luas. Jika ada pertanyaan dan belajar labih lanjut, mari kita jumpa disini!