Training merupakan bagian yang sangat mulia dari tugas Human Capital (HC). Memberangkatkan orang untuk training adalah tantangan tersendiri. Tidak semua karyawan berangkat mengikuti training dengan sukacita. Bahkan ekstremnya mereka menolak untuk berangkat training. Paradoks dengan hal itu, HC wajib membuat karyawan berangkat training dengan sukacita.
“Training lagi… training lagi” hela nafas mengiringi. Peristiwa beberapa waktu yang lalu, yang saya dengar dari seorang karyawan.
Saya sempat termangu kebingungan menghadapi hal itu. Situasi yang canggung langsung terasa. Sebagai seorang praktisi HC yang menyusun, mencari dan menjadwalkan training, sejujurnya tidak siap dengan reaksi yang muncul.
Terbayang bagaimana pusingnya team ini menyusun kurikulum sebagai peningkatan kompetensi. Terbayang pula bagaimana kami berdebat panjang dengan team Finance mengenai budget untuk people development. Dan betapa alotnya meyakinkan jajaran direksi akan pentingnya investasi pengembangan sumber daya manusia.
Seolah tak percaya pada yang barusan terdengar, saya pun memberanikan diri bercanda, “Lah bukannya enak pak, rehat sejenak dari kerjaan ditambah belajar untuk menambah pengetahuan? Andai bisa, saya gantiin nih”.
“Andai bisa digantiin sih, dengan senang hati. Kutambahin uang saku malahan”. Begitu jawabnya sambil meninggalkan ruangan. Saya masih termenung menatap pintu yang tertutup dari luar, berusaha mencerna peristiwa yang terjadi ini.
Mengapa karyawan merasa terbebani untuk berangkat training? Bukankah seharusnya sukacita yang nampak saat seorang karyawan diberikan kesempatan untuk mempertajam kompetensi diri.
Mencari Penyebab Training Menjadi Hal yang Tidak Menyenangkan.
Business Owner, HC Practitioner dan Professional Leader, peristiwa yang terjadi di atas bukan sesuatu yang mengada-ada atau jauh dari realita. Faktanya banyak karyawan yang setengah hati berangkat training. Tidak sedikit pula yang lugas menolak.
Kejadian semacam ini adalah tantangan bagi perusahaan, secara khusus bagi HC practitioner. Terbayang bagaimana hasil trainingnya ketika orang berangkat dengan terpaksa. Apakah mungkin akan berdampak pada peningkatan kompetensi? Atau bahkan bisa jadi buang-buang uang untuk basa-basi.
Budget besar yang sudah dikeluarkan perusahaan tidak tepat sasaran. Investasi yang cenderung rugi.
Menyalahkan situasi ini tanpa mencari akar permasalahan tidak akan banyak guna. Saat ini para praktisi HC harus menganalisa. Memposisikan dalam sudut pandang karyawan yang akan berangkat training. Mengapa bukan sukacita yang dihadirkan? Jika menelaah lebih dalam, bisa jadi berikut adalah akar permasalahannya:
- Mindset Belajar adalah Beban.
Belajar adalah tugas. Bisa jadi pola-pola lama, doktrin yang tertanam sejak belia bahwa belajar adalah kewajiban terbawa sampai besar. Sehingga karyawan belum terbangun pemahaman bahwa belajar adalah sebuah kebutuhan.
Ketika seorang karyawan tidak haus akan ilmu, maka belajar akan meningkatkan rasa jemu. Akses video pembelajaran tentang mindset di HCA ONLINE MENTORING PROGRAM.
- Training Membuat Pekerjaan Menumpuk.
Berkaitan dengan beban, saat karyawan berangkat training, hati dan pikirannya masih di pekerjaan. Bayangan pada saat kembali bekerja, akan banyaknya pekerjaan yang menumpuk dan belum terselesaikan menimbulkan rasa cemas.
Menganggu waktu kerja. Dengan waktu normal bekerja saja, terkadang dirasa tidak cukup untuk menyelesaikan pekerjaan, apalagi jika ditinggal beberapa jam atau beberapa hari untuk training,maka akan butuh berapa lama lagi untuk menyelesaikan pekerjaannya.
- Training Tidak Cukup Cantik Membuat Minat Tertarik.
Minat akan muncul saat ada dampak yang bakal dirasa karyawan. Ketertarikan akan kuat jika ada “iming-iming” yang menggiurkan. Faktanya sering perusahaan lupa akan hal ini, sehingga tidak mampu mengemas proses training menjadi sesuatu yang diminati.
Saat minat tak terbangun, maka bukan sukacita yang nampak namun keterpaksaan atau sekedar menjalankan tugas.
Business Owner, HC Practitioner dan Professional Leader, ketika kita mampu menganalisa, mencoba berbesar hati melihat dari berbagai sudut pandang akan memudahkan kita untuk mencari solusinya. Saat akar permasalahan ditemukan, saatnya pula melakukan refleksi.
Alternatif Cara Membangun Sukacita.
Business Owner, HC Practitioner dan Professional Leader, membiarkan kejadian seperti cerita di awal berlangsung terus menerus bukanlah langkah yang bijak. Sekedar mengejar pemenuhan target memberangkatkan karyawan training bisa jadi boomerang bagi praktisi HC.
Yang penting karyawan berangkat maka KPI Human Capital tercapai bukanlah ide yang bagus. Bukan manfaat yang didapat namun lebih banyak resikonya. Apa yang kita harapkan dari karyawan yang setengah hati berangkat untuk belajar?
Lalu apakah yang harus kita lakukan agar karyawan mau berangkat mengikuti training? Mengubah terpaksa menjadi sukacita.
Jadikan Training Sebagai Bagian dari Promosi.
Banyak perusahaan melupakan hal ini. Promosi, naik gaji dan menerima kompensasi adalah hal yang menggugah atensi. Fakta, reward lebih kuat perannya dibandingkan punishment dalam proses development.
Business Owner, HC Practitioner dan Professional Leader, tanpa disadari sering kita menfokuskan diri pada penekanan wajib mengikuti training. Konsekuensinya jika tidak, akan dianggap “berdosa”. Setiap karyawan yang menolak mengikuti training akan mendapatkan punishment. Maka yang muncul adalah paksaan atau tekanan bagi karyawan.
Akan lain cerita jika training menjadi bagian dari rangkaian prasyarat untuk promosi. Yang dikemukakan adalah promosi. BF Skinner sebagai salah satu pelopor Teori Behaviorisme menekankan pada adanya penguatan yang mempengaruhi perilaku. Pengkondisian akan menguatkan respon.
Jika training dilembagakan dalam system promosi, karyawan akan termotivasi belajar. Meski belum pasti, namun peluang akan opportunity di depan mata meningkatkan daya upaya. Akses dan pelajari lebih banyak tentang SISTEM PROMOSI DAN JENJANG KARIR.
Sederhananya ketika ada tujuan yang jelas, hadiah yang menarik dan peluang untuk menang, maka setiap orang akan berjuang. Sebaliknya jika tanpa intensi yang sarat narasi, setiap orang akan melakukannya dengan setengah hati.
What’s Next?
Business Owner, HC Practitioner dan Professional Leader, menyusun sistem promosi adalah salah satu kompetensi kami. Dalam perjalanannya training menjadi salah satu bagian dalam rangkaian prosesnya.
Membangun kesadaran karyawan untuk berangkat training dengan narasi meningkatkan kompetensi diri adalah yang paling ideal. Ketika karyawan sudah menyadari pentingnya training, separuh beban tugas Human Capital terselesaikan. Karyawan berangkat training dengan sukacita.
Namun jika kesadaran itu sulit terbangun, saatnya mencoba berpikir alternatif. Kami siap membantu anda menyusun sistem promosi dengan memasukkan elemen training di dalamnya.
Kontak dan diskusi bersama kami di KONTAK KAMI.
Let’s SMASH!