October 6, 2025

Catat! Kerja Bareng Nggak Cuma Sekadar Bareng Loh

0  comments

Ada yang capek karena inisiatif kerja, eh ada yang nganggur karena nggak dapet arahan

Lucunya, dua-duanya ada di tim yang sama.

Haii Business Owner, HC Practitioner dan Professional Leader! Situasi ini sering banget kejadian di kantor. Kadang bukan karena orangnya malas atau nggak punya niat baik, tapi karena mereka nggapunya engagement antar tim. Semua orang sibuk berkontribusi, tapi belum tentu tahu sebenarnya mereka lagi menuju ke mana. Hasilnya, kerja tim terasa ramai tapi nggak nyatu. Ada yang lari cepat, ada yang jalan pelan, tapi nggak ada yang benar-benar tahu garis finish-nya di mana. Hufttt…

Padahal kalau dipikir, semua orang di tim punya niat yang sama: pengen hasilnya bagus. Cuma kadang caranya aja yang belum sejalan. Dan di sinilah pentingnya ownership culture, rasa memiliki yang bukan cuma soal jabatan atau tanggung jawab formal, tapi soal

Aku bagian dari ini, dan aku mau jaga bareng-bareng.

Kalau Udah Ngerasa “Ini Tanggung Jawab Kita”, Energinya Beda

Pernah nggak sih ngerasa kerja sama tim yang energinya “klik” banget? Semua orang sigap, saling isi, saling bantu tanpa harus banyak ngomong. Bukan karena nggak ada masalah, tapi karena mereka punya kesadaran yang sama: hasilnya cuma akan bagus kalau semua orang main peran dengan sungguh-sungguh.

Nah, itu ciri tim yang udah punya budaya ownership. Mereka nggak cuma mikirin “tugas aku udah beres atau belum,” tapi juga “tim aku udah sampai mana.” Kalimat sederhana, tapi efeknya besar banget. Budaya kayak gini bikin orang jadi lebih peduli, lebih terbuka, dan lebih mudah diajak ngobrol soal solusi. Karena rasa memiliki bikin orang berani bicara, bukan takut salah. Yang muncul bukan kompetisi diam-diam, tapi kolaborasi yang beneran hidup.

Tapi ya, realitanya nggak semudah itu. Banyak tim yang pengen punya budaya ownership, tapi masih terbentur pola lama. Ada yang terbiasa kerja “sesuai arahan”, ada juga yang selalu jadi penggerak tapi lama-lama lelah karena ngerasa sendirian. Sampai akhirnya muncul jarak: “ya udah deh, yang penting bagian aku beres.” Masalahnya, ketika pola itu terus jalan, tim jadi kehilangan makna. Orang kerja bukan karena peduli, tapi karena kewajiban. Dan pelan-pelan, semangat barengnya hilang, yang tersisa cuma rutinitas.

Yang sering dilupakan, budaya ownership itu nggak bisa dibentuk lewat slogan atau training sekali jadi. Ia tumbuh dari kebiasaan-kebiasaan kecil yang dilakukan terus menerus. Misalnya, dari kebiasaan nanya, “apa yang bisa aku bantu?” Atau dari cara tim terbuka ngomong, “ini kayaknya belum jalan deh, gimana kalau kita ubah dikit?” Hal-hal kecil kayak gini yang lama-lama bikin rasa memiliki tumbuh.

Pak Wisnu selalu mengajak klien Sinergia untuk banyak berkomunikasi, bahasanya Pak Wisnu adalah “duduk bareng”. Kadang emang kita terlalu fokus sama kerjaan masing-masing, nggak banyak komunikasi, semua fokus di targetnya sendiri. Tapi ada salah satu klien yang diminta pak wisnu untuk nerapin “duduk bareng” sama timnya. Mereka mulai rutin ngobrol santai tiap minggu, bukan buat bahas kerjaan, tapi buat cerita apa yang mereka hadapi dan apa yang bisa diperbaiki bareng. Anehnya, setelah itu kerja mereka malah makin efisien. Masalah bisa dipecahin lebih cepat karena mereka udah kebiasa jujur dan saling dengerin.

Ownership culture nggak selalu tentang ide besar, tapi tentang rasa keterhubungan kecil yang dijaga. Rasa itu tumbuh ketika orang ngerasa dipercaya, bukan diawasi. Ketika kontribusinya dihargai, bukan dibanding-bandingin. Dan yang paling penting: ketika semua orang tahu, hasil akhir bukan cuma urusan satu orang — tapi tanggung jawab bersama.

Budaya yang Dirawat, Bukan Sekadar Dibentuk

Budaya ownership bukan hal yang bisa dicetak lewat aturan atau SOP. Ia hidup dari interaksi manusia ke manusia: dari percakapan, dari empati, dari kesadaran untuk nggak kerja “sendiri-sendiri”. Tiap kali tim berhasil melewati tantangan bareng, satu lapisan budaya itu makin kuat.

Mungkin di awal terasa pelan, tapi efeknya nyata. Tim yang punya budaya ownership biasanya punya ritme kerja yang lebih stabil dan fleksibel. Kalau ada masalah, mereka langsung regroup, nggak saling lempar tanggung jawab. Kalau ada keberhasilan, mereka rayakan bareng, karena tahu itu hasil semua orang. Dan yang menarik, tim kayak gini nggak perlu terlalu banyak pengawasan. Karena orang-orangnya udah otomatis jalan dengan kesadaran masing-masing. Mereka tahu apa yang penting, dan mereka bergerak karena peduli.

Di tengah rutinitas kerja, jarang banget kita punya waktu buat berhenti sejenak dan mikir, “Sebenernya tim kita udah kerja bareng, atau baru kerja barengan aja?” Pertanyaan sederhana, tapi bisa jadi awal perubahan besar. Dan mungkin, di situlah pentingnya punya ruang buat ngobrol, belajar, dan refleksi bareng tentang budaya kerja yang sehat.

Event Building Ownership Culture diadakan dengan semangat itu bukan buat kasih rumus, tapi buat buka ruang. Ruang untuk para leader dan praktisi HR bertukar pengalaman tentang gimana caranya menumbuhkan rasa memiliki yang beneran hidup di tim. Karena kadang, perubahan besar justru dimulai dari percakapan kecil yang jujur. Sampai ketemu di Building Ownership Culture, 14-15 Oktober di Surabaya!

Adelia Putri Arinatasyah


Mempelajari tentang organisasi sama halnya dengan memahami ekosistem yang dinamis, setiap elemen di dalamnya saling berinteraksi dan berkontribusi terhadap keseimbangan serta pertumbuhan keseluruhan.


Tags


You may also like

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked

{"email":"Email address invalid","url":"Website address invalid","required":"Required field missing"}
>