By Lily Johan
Pertanyaan sederhana yang dilontarkan oleh seorang fasilitator pada sebuah pertemuan alignment di sebuah perusahaan seharusnya menjadi momen introspeksi bagi anggota organisasi.
“Apa budaya perusahaan Anda?”
Namun, respons yang diharapkan tidak terjadi. Suasana menjadi terdiam, peserta menciptakan gumaman tanpa satu pun memberikan jawaban tegas dan spontan.
Kejadian ini mencerminkan tantangan umum yang mungkin dihadapi oleh banyak organisasi, yaitu ketidakmampuan karyawan untuk mengartikulasikan budaya perusahaan dengan jelas.
Budaya perusahaan, sebagai elemen tak terpisahkan dari identitas organisasi, memiliki peran yang sangat penting dalam membentuk hubungan kebersamaan di antara anggotanya. Ini bukanlah sekadar frase atau tagline yang terpampang di dinding kantor, melainkan sesuatu yang harus dirasakan dan diinternalisasi oleh setiap individu di dalam organisasi.
Budaya perusahaan, seperti perekat yang kuat, tetap terasa bahkan ketika anggota meninggalkan perusahaan.
Namun, apa yang terjadi jika budaya tersebut tidak terasa atau bahkan hilang dari pandangan? Inilah saatnya untuk memahami betapa pentingnya budaya perusahaan sebagai fondasi kebersamaan. Kepercayaan, sebuah elemen kunci dalam dinamika organisasi, tumbuh dan berkembang dari penghayatan nilai-nilai budaya tersebut.
Dalam konteks ini, konsep “smart trust” yang diusung oleh Stephen Covey menjadi relevan. Trust yang cerdas tidak hanya mengandalkan pada kepercayaan buta, melainkan melibatkan kontribusi aktif dari setiap anggota organisasi. Manajemen yang mempraktikkan smart trust selalu mengukur kepercayaan berdasarkan kapabilitas dan pencapaian, menciptakan lingkungan di mana kepercayaan dibangun dengan cerdas.
Tetapi, bagaimana langkah yang dapat diambil jika budaya perusahaan belum terasa oleh anggotanya, bahkan ketika diakui sebagai elemen kunci dalam membangun kepercayaan? Berikut beberapa langkah yang dapat diambil oleh organisasi untuk memulai proses membangun kembali kebersamaan melalui pemahaman terhadap budaya perusahaan:
1. Refleksi Bersama
Anggota organisasi perlu diberi ruang untuk merefleksikan pengalaman mereka dan mendefinisikan budaya perusahaan secara bersama-sama.
“Apa nilai-nilai yang dipegang oleh organisasi?”
“Norma-norma apa yang dianggap sebagai pedoman dalam setiap tindakan sehari-hari?”
Ini bukan hanya sekadar langkah menuju kebersamaan, tetapi juga suatu upaya untuk merangkul keberagaman pandangan dan pengalaman yang dapat memberikan gambaran yang lebih kaya tentang budaya organisasi.
2. Self-Assessment
Self-assessment dalam konteks budaya perusahaan adalah suatu proses kritis di mana organisasi mengevaluasi dirinya sendiri untuk memahami dengan lebih baik kekuatan dan bagian yang perlu dikembangkan lagi terkait budaya yang sedang berlangsung. Melalui self-assessment yang menyeluruh, organisasi dapat mendapatkan gambaran yang jelas tentang apakah nilai-nilai dan norma-norma yang dipegang telah tercermin dalam tindakan sehari-hari, dan apakah ada area yang perlu perbaikan atau penguatan.
3. Kolaborasi untuk Merumuskan Budaya Ideal
Melibatkan seluruh anggota organisasi dalam merumuskan budaya ideal yang diinginkan. Proses kolaboratif ini memastikan bahwa setiap suara dihargai dan ide-ide bersinergi untuk membentuk landasan budaya yang kuat. Kolaborasi untuk merumuskan budaya ideal merupakan suatu proses yang esensial dalam membangun fondasi budaya organisasi yang kuat dan berkelanjutan.
Dalam konteks ini, melibatkan seluruh anggota organisasi adalah kunci utama untuk memastikan bahwa setiap suara dihargai dan kontribusi dari berbagai lapisan organisasi diakui. Proses kolaboratif ini tidak hanya menciptakan rasa memiliki bersama, tetapi juga memungkinkan terciptanya budaya yang autentik dan relevan dengan nilai-nilai bersama.
4. Identifikasi Gap dan Need for Improvement
Identifikasi di sini dimaksukdan untuk memperlancar proses menyusun action plan untuk mengakomodasi gap antara budaya yang diinginkan dan kenyataan saat ini.Setelah melibatkan anggota organisasi dalam merefleksikan budaya perusahaan, langkah selanjutnya adalah mengidentifikasi gap antara budaya yang diinginkan dan kenyataan saat ini.
Adanya perbedaan antara idealisme dan realitas adalah hal yang wajar, namun pengenalan gap tersebut menjadi langkah awal untuk menciptakan improvement yang diperlukan. Improvement dapat mencakup pelatihan, perubahan kebijakan, atau restrukturisasi yang diperlukan.
Melalui langkah-langkah ini, organisasi dapat memulai perjalanan untuk membangun kembali budaya perusahaan yang memberdayakan, memotivasi, dan menghadirkan kepercayaan di antara seluruh anggotanya.
So.. What’s Next?
Budaya perusahaan yang kuat bukan hanya menjadi panduan dalam pengambilan keputusan, tetapi juga menjadi perekat yang mengikat setiap individu dalam mencapai tujuan bersama.
Dalam menghadapi era perubahan yang cepat dan kompleks, membangun kebersamaan melalui pemahaman dan penghayatan terhadap budaya perusahaan bukanlah pilihan, melainkan suatu keharusan.
Organisasi yang mampu meresapi dan mendorong budaya perusahaan akan menemukan diri mereka lebih tangguh, responsif, dan mampu menghadapi tantangan dengan keberanian dan keyakinan yang lebih besar.
Budaya perusahaan bukan hanya identitas; itu adalah pendorong keberhasilan dan keberlanjutan organisasi dalam jangka panjang!.