September 18, 2020

7 Cara Kreatif Employee Engagement untuk Memikat Karyawan Milenial

1  comments

By Edy Nugroho

“A true gentleman never leaves his lady”

Un vero cavaliere non lascia mai una signora, begitulah kalimat itu dalam bahasa aslinya.

Kalimat legendaris dari kapten penuh magis pada tim sepakbola hitam putih bergaris. Alessandro Del Piero, sang kapten dengan julukan sang Pinturicchio, yang telah menggores tinta emas di lega calcio pada tim yang bermarkas di Torino. Tahun 2006 adalah salah satu sejarah kelam dunia sepakbola Italy, secara khusus pada tim yang berjuluk The Old Lady, Juventus. Terbongkarnya skandal besar pengaturan skor yang terkenal dengan sebutan calciopoli dengan aktor utamanya Luciano Mogi. Direktur umum Juventus kala itu terbukti melakukan tindakan illegal dengan ikut campur tangan dalam pemilihan wasit pertandingan.

Vonis dijatuhkan, hukuman ditimpakan, status juara dilengserkan. FIGC (PSSI-nya Italia) memutuskan Juventus bersalah dan dihukum turun kasta ke Seri B, memulai kompetisi dengan point minus 9 dan mencopot gelar juara liga Seri A 2004/2005 dan 2005/2006. Sang penguasa Seri A turun ke kasta kedua liga. Petaka!

Sudah jatuh tertimpa tangga, sang juara mendadak ditinggalkan bintang-bintangnya, berpindah ke tim yang dengan tangan terbuka menampungnya. Beruntungnya La Vecchia Signora, eksodus pemain ini tidak diamini oleh 5 bintang utamanya. Dimotori oleh Alessandro Del Piero sang kapten, beberapa pemain utama bertahan tunjukkan komitmen. Mereka adalah Gianluigi Buffon (penjaga gawang nomor 1 Italia kala itu, masih aktif bermain sampai hari ini), Pavel Nedved (kapten timnas Republik Ceko, sekarang menjabat sebagai wakil presiden Juventus), David Trezeguet (striker timnas Perancis), Mauro Camoranesi (sayap kanan timnas Italia). Seri B sebagai kasta kedua bukanlah habitat mereka, banyak tim menunggu tanda tangannya, tapi mereka memilih tidak pindah ke lain hati, bertahan untuk membawa The Old Lady ke tempat seharusnya berkompetisi. Hormat.

Business Owner, HC Practitioner dan Professional Leader, heroik sekali bukan ilustrasi di atas. Cerita ini sekilas seperti sebuah dongeng, yang dirasa tidak lazim terjadi dalam kancah sepakbola modern, lebih-lebih sepertinya mustahil terjadi di dunia kerja pada era milenial ini. Benarkah demikian?

Sebelum menjawab pertanyaan itu, kita perlu mengupas mengapa Del Piero memilih bertahan, bahkan mampu mengeluarkan kalimat yang menyentuh bagi Juventini (pendukung Juventus) itu. Beragam analisa muncul, benang merahnya adalah engagement.  Del Piero terkoneksi erat dengan Juventus. Bukan sekedar bertahan, melainkan memperjuangkan.

Engagement pada Generasi Milenial

Di era digital ini, perusahaan dengan mayoritas diisi oleh karyawan milenial, pertanyaan mendasar yang sering muncul adalah masih adakah karyawan yang tetap bertahan saat perusahaan tertimpa cobaan atau masih adakah yang memilih menyelamatkan kapal dari ancaman karam alih-alih menyelamatkan diri melompat ke kapal lain?

Banyak. Tergantung bagaimana business owner melalui human capital mampu membangun engagement karyawan terhadap perusahaan.

Engagement dalam terjemahan baku adalah keterikatan, dalam beberapa artikel diterjemahkan sebagai loyalitas. Mirip namun belum tentu pas, karena loyalitas mengandung unsur durasi waktu. Loyalitas karyawan biasanya salah satu tolok ukurnya adalah berapa lama waktu bertahan. Engagement lebih menekankan energi untuk menghasilkan peningkatan. 

Engagement is an individual’s sense of purpose and focused energy, evident to others in the display of personal initiative, adaptability, effort, and persistence directed toward organizational goals (Macey, Schneider, Barbera, & Young).

Kata kuncinya adalah energi untuk tujuan organisasi. Beberapa kalangan meyakini bahwa ciri karyawan yang mempunyai engagement terletak pada 4 hal yaitu:

Say; mengatakan yang baik tentang perusahaan.
Karyawan yang mempunyai engagement bangga dan menceritakan hal yang baik tentang perusahaannya. Dia mampu menjadi marketing dan brand ambassador informal untuk perusahaan.

Stay; mempunyai komitmen untuk bertahan.
Memilih bertahan, bukan karena tidak ada pilihan. Di sini ukurannya bukan sekedar berapa lama waktu bertahan, melainkan seberapa kuat karyawan mampu menahan godaan.

Strive; mencurahkan tenaga dan upaya untuk kemajuan perusahaan.
Ciri ini yang paling menonjol. Karyawan yang mempunyai engagement, mampu menunjukkan persistensi dan daya juang untuk memajukan perusahaan. Gairahnya tak kenal lelah meski kadang gundah menghadapi beragam masalah.

Smile; bahagia dalam bekerja.
Karyawan ini hidupnya bahagia. Beragam masalah di perusahaan tidak membuatnya gelisah. Antusias dan aura yang positif menjalar dan menulari orang di sekitarnya. Jika diukur, job satisfaction karyawan ini biasanya cukup tinggi.

Business Owner, HC Practitioner dan Professional Leader, yuk coba amati secara kasat mata apakah sebagian besar karyawan kita sudah mempunyai ciri-ciri tersebut. Observasi ringan bisa dilakukan periodik, evaluasi secara sederhana lalu ambil langkah-langkah perbaikannya. Penting, karena engagement adalah gejala awal dari kesuksesan. Karyawan yang merasa dirinya engage (mempunyai keterikatan) akan proaktif dan produktif. Dahinya “tidak mengkerut”, mukanya tidak murung, lingkungan kerja jadi lebih hidup dan indah dipandang.

Harus diakui, tidak mudah untuk membangun engagement karyawan pada generasi milenial. Bukan karena tidak loyal, tapi tawaran karir dari portal digital nampak sebagai iming-iming yang mengusik akal. Bayangkan, di era inilah dengan mudahnya kita melihat iklan lowongan di seluruh wilayah nusantara dari barat sampai timur, atau bahkan negara tetangga Singapore. Tidak jarang pula di medsos, ada perusahaan dari luar negeri yang tertarik dengan kualifikasi, mengirim notifikasi lalu menawarkan opportunity. Godaan-godaan inilah yang menjadi tantangan untuk membangun keterikatan generasi milenial pada perusahaan.

Langkah yang Out of the Box

Generasi milenial cara berpikirnya cenderung tidak biasa saja, maka cara yang ditawarkan pun harus out of the box. “Mengikat” mereka tidak cukup dengan memberikan gaji yang baik dan jenjang karir yang jelas. Bukan sekedar perut kenyang, hati senang lalu bekerja dengan tenang. Generasi milenial perlu wadah untuk mengekspresikan diri, ruang untuk eksistensi bukan hanya besaran gaji.

Human Capital Practitioner Bersama dengan Business Owner ataupun Leader, coba lakukan beberapa langkah sederhana berikut yang mungkin cocok untuk menumbuhkan keterikatan generasi milenial pada perusahaan:

1) Review Visi Perusahaan
Merekrut karyawan yang se-visi dengan perusahaan adalah tagline tugas human capital. Itu adalah menu wajib dan jargonnya. Faktanya banyak human capital mengeluhkan hal ini. Semakin hari dirasa semakin sulit menemukan karyawan yang se-visi dengan perusahaan. Salah generasi milenial? Belum tentu. Jangan-jangan malah visi perusahaanlah yang sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman. Kalau itu yang terjadi, artinya ini adalah saatnya untuk duduk bersama me-review visi perusahaan agar dapat mengikuti perkembangan jaman.

2) Jenjang Karir yang Terbuka
Jenjang karir yang jelas, menarik bagi generasi milenial. Jenjang karir yang terbuka, itu jauh lebih menyenangkan. Yang dimaksud terbuka adalah dimungkinkannya terjadi lompatan jabatan, bahkan tidak menutup kemungkinan cross section. Kondisi ini memacu karyawan berprestasi dan menunjukkan persistensi. Contoh nyata adalah program lelang jabatan yang akhir-akhir ini marak dilakukan pemerintah di sejumlah instansi.

3) Mutasi Sebagai Budaya untuk Meningkatkan Kompetensi
Generasi milenial itu dinamis, mereka cenderung mudah bosan dengan tatanan yang kaku dan pekerjaan yang monoton. Oleh karenanya perlu dicoba rotasi berkala sebagai upaya penyegaran dan upaya peningkatan kompetensi. Mutasi yang terkadang dipersepsikan negatif, menjadi sebuah study tour yang gratis dan membuat karyawan lebih kompeten.

4) Ruang untuk Berkesperimen dan Melakukan Breakthrough
Generasi milenial biasanya mempunyai energi yang berlebih, antusias dan senang mencoba hal baru. Energi ini harus diwadahi dan disalurkan agar tidak menjadi energi yang negatif bagi perusahaan. Memberikan ruang untuk ide dan eksperimen, artinya perusahaan siap dengan kemungkinan terjadinya kesalahan. Cost untuk kesalahan ini bisa jadi sepadan jika hasilnya ide dan terobosan baru untuk perbaikan perusahaan. Ruang untuk bereksperimen ini memenuhi kebutuhannya untuk mengekspresikan diri.

5) Work Life Balance
Traveling ke tempat yang ikonik, makan di tempat yang lagi hit dan berfoto di spot yang istagramable, menjadi ciri khas milenial. Keren, jika kebutuhan berlibur mampu dipenuhi oleh perusahaan, misalnya meeting bulanan yang dilakukan di luar kantor sambil jalan-jalan. Atau misal periodik tiap 3 tahun, karyawan wajib mengambil cuti 6 hari berturut tak terputus untuk berlibur. Selain untuk refreshing, penting juga untuk menguji sistem di kantor.

6) Tekhnologi yang Mendominasi
Lahir pada era digital, membuat kaum milenial sangat melek tekhnologi. Gawai yang cerdas dengan ragam aplikasi cukup familiar di tangan. Semakin perusahaan memanfaatkan tekhnologi, semakin banyak karyawan muda ada di populasi. Contoh sederhana, aplikasi cuti. Karyawan yang hendak mengajukan cuti cukup melalui aplikasi. Aproval atasan pun dilakukan dengan sistem. Praktis, tidak banyak pertanyaan tentang alasan cuti, data akurat. Milenial suka hal itu.

Pelajari selengkapnya bagaimana menjadi leader yang sip dan berkarisma, Klik Disini

7) Leadership; Leader yang Sip
Engagement starts with you (leader). Iklim perusahaan dibangun oleh leader. Leader yang asyik akan terlihat keren bagi karyawan milenial. Perlu disadari, banyak karyawan mengajukan pengunduran diri, bukan karena gaji. Melainkan tidak sejalan dengan atasan. Atasan yang tidak mengembangkan, sekedar bekerja menunggu pensiun sangat tidak menarik bagi generasi milenial. 

Tidak mudah, bahkan mungkin terasa asing alternatif cara membangun employee engagement khususnya generasi milenial ini, tapi rasanya layak dicoba. Karena terkadang perlu cara yang tidak biasa untuk mendapatkan hasil yang luar biasa. Pastinya disesuaikan dengan kondisi dan sifat perusahaan anda.

Kesempatan Menjadi Legenda.

13 Mei 2012 adalah hari yang bersejarah. Alessandro Del Piero memainkan pertandingan terakhirnya bersama The Old Lady sebelum pindah ke Liga Australia di kota Sidney. Kawan maupun lawan serentak memberikan tepuk tangan. Seisi stadion berdiri sambil menumpahkan air mata, khidmat memberikan hormat.  Alessandro Del Piero dikenang sebagai legenda, bukan sekedar prestasinya melainkan karena “monumen” yang telah dibangunnya. Monumen itu bernama engagement, yaitu pilihannya bertahan untuk berjuang menyelamatkan Juventus. Dia tetap hadir saat teamnya berada di titik nadir.

Akhirnya, Business Owner, HC Practitioner dan Professional Leader, yakini bahwa Anda juga mampu menciptakan “Alessandro Del Piero” baru di perusahaan Anda. Tawarkan pada mereka karyawan milenial, kesempatan untuk menjadi legenda yang dirangkai dalam sebuah cerita dan dikenang penuh makna.

Selamat mencoba ya! Untuk diskusi lebih banyak terkait dengan Employee Engagement ini bisa juga terhubung dengan Tim kami di www.sinergiaconsultant.com/kontakkami .

Let’s Connect!


Tags

Edy Nugroho, Human Capital Practitioner


You may also like

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked

{"email":"Email address invalid","url":"Website address invalid","required":"Required field missing"}
>